Seminar Empat Pilar Kebangsaan di UBJ, Ketua MPR RI: Pancasila Adalah Pemersatu Bangsa

18 December 2017

Bekasi – Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) menyelenggarakan seminar bertema Optimalisasi 4 Pilar Kebangsaan Dalam Rangka Mencegah Radikalisme dan Terorisme, Rabu, 13 Desember 2017, di Auditorium Ubhara Jaya, Kampus II Bekasi. Seminar ini bertujuan mencegah radikalisme di tanah air.

Seminar mendatangkan sederet cendikiawan dan akademisi seperti Dr. KH. As’ad Said Ali, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE, dan Prof. (Ris) Hermawan Sulistyo, M.A., Ph.D., APU dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Ubhara Jaya. Hadir sebagai keynote speaker adalah Ketua MPR RI Dr. (HC). H. Zulkifli Hasan, SE.,MM. Sementara moderator seminar adalah dosen tetap Ubhara Jaya Djuni Thamrin, M.Sc., Ph.D. Seminar dihadiri ratusan peserta yang terdiri atas mahasiswa, dosen dan civitas akademika di lingkungan Ubhara jaya.

Dalam sambutannya, Rektor Ubhara Jaya Irjen. Pol. (Purn) Drs. H. Bambang Karsono, SH., MM., menuturkan, penyelenggaraan seminar merupakan wujud komitmen Ubhara Jaya sebagai garda terdepan pengawal NKRI, Pancasila, UUD 45, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai upaya untuk mempertahankan keutuhan bangsa.

Dalam konteks pendidikan, Pada tahun 2016, sebuah hasil survey menyatakan 25 siswa dan 21 guru menyatakan Pancasila kurang relevan. Data statistik tersebut menjadi peringatan bahwa radikalisme tidak mengenal waktu dan tempat termasuk di dunia pendidikan. Sebab itu, diperlukan pemahaman agama yang selaras dengan empat pilar kebangsaan. “Empat Pilar bukan hanya hasil dari proses politik saja, namun merupakan suatu hasil dinamika keberagaman dalam konteks ke-Indonesiaan. Seminar ini diharapkan mampu menghadirkan semangat yang mampu menjadi bahan filosofi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Sebagai pembicara pertama, Dr. KH. As’ad Said Ali memaparkan, eksistensi Empat Pilar menghadapi tantangan berat. Gonjang-ganjing politik tanah air serta perlambatan ekonomi sangat memengaruhi generasi sekarang. “Radikalisme akarnya adalah sosial, ekonomi, dan politik,” imbuh beliau.

Untuk menangkal radikalisme perlu adanya suatu upaya yang perlu digencarkan salah satunya memperkuat pemahaman plurarisme sosiologis yang akan menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama yang dipeluk dan mengakui perbedaan aqidah dan praktek keagamaan.
“Diharapkan Kita bisa bekerja dalam humanisme kemanusiaan walaupun berbeda-beda, ini yang harus digencarkan agar bisa menghilangkan gerakan radikalisme. Pancasila melindungi agama dari tindakan penistaan yang merupakan hak kolektif,” papar Dr. KH. As’ad Said Ali.

Pembicara berikutnya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE mengungkapkan radikalisme menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk para pemangku bidang pendidikan. “Dari berbagai penelitian, tentang akar-akar radikalisme disebutkan bahwa radikalisme sesungguhnya sangat kompleks tidak bisa hanya faktor tunggal,” terangnya. Radikalisme umumnya terkait faktor sosial ekonomi, kesenjangan dan perubahan dinamika politik yang pada akhirnya berimbas pada permasalahan di pendidikan. “Kian kompleks dengan menjamurnya sumber-sumber paham radikalisme yang mudah diakses dengan pelajar dan mahasiswa.” katanya.
Menurut Dr. Azyumardi Azra, penguatan pendidikan mutlak dilakukan, terutama pendidikan di keluarga yang merupakan fokus utama pendidikan. “Ayah tidak boleh lepas tangan, menyerahkan pendidikan kepada ibu. Ayah harus tetap memberikan pendidikan, contoh dan tauladan yang baik, serta mengawasi dengan seksama terhadap kegiatan anak,” katanya.
Sementara itu, Prof. (Ris) Hermawan Sulistyo, M.A., Ph.D., APU., menunjuk penyebaran kabar-kabar hoax yang massif sebagai salah satu biang keladi maraknya paham radikalisme. Paham radikal yang mengancam persatuan bangsa kerap disebarkan melalui berita bohong di sejumlah media sosial. Untuk menangkal hal tersebut, masyarakat harus dilibatkan dalam gerakan melawan berita bohong.
Menurut Prof. Kikiek, demikian beliau biasa disapa, demokrasi mengandung makna yang luas, tidak sekadar hasil voting namun harus mempertahankan asas akuntabilitas, transparansi, dan tanggung jawab sosial. “Itu yang terjadi di media sosial, kita diguyur informasi ketika kita membukanya. Tapi tidak semua informasi itu benar.Dunia ini makin kompleks dan makin rumit dengan media sosial. Maka untuk menghindari merebaknya hoax hindari copy-paste berita yang tidak jelas,” katanya.
Sebagai penutup acara sekaligus keynote speaker, Dr. (HC). H. Zulkifli Hasan, SE., MM., mengajak setiap elemen bangsa kembali menjahit kembali merah putih dengan memahami landasan filosofis Empat Pilar Kebangsaan yang telah dicanangkan 72 tahun yang lalu oleh pendiri republik. Hal tersebut kemudian diaplikasikan pada perilaku sehari-hari. Sebab, menurutnya Pancasila ialah perilaku.
“Pancasila adalah perilaku yang menyatukan kita semua, bukan yang mengotak-ngotakkan dan memecah belah. Dengan Pancasila pula kita bangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, partai politik, politisi yang akhir-akhir ini kian menurun. “Sangat bahaya ketika masyarakat mau melakukan apa yang diinginkannya sendiri, sama halnya dengan menyatakan Islam itu radikal, wah saya tidak terima,” tegas Zulkifli Hasan.
Ia juga menyatakan, bahwa tidak ada jalan lain untuk bisa merajut kembali merah putih selain kembali pada Pancasila melalui perwujudan perilaku berbangsa dan bernegara. Pancasila yang sudah disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia di masa lalu. “Mari kita luruskan kembali salah paham yang ada, yang kembali memperdebatkan Pancasila yang sudah final dan apabila kita memperdebatkan kembali maka itu jalan mundur,” tutupnya. (Tim Media Ubhara Jaya)