Bekasi – Kekerasan seksual kepada anak kembali marak di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Masih hangat berita yang sangat menghebohkan tentang seorang pelajar SMP berprestasi bernama YY, gadis berumur 14 tahun yang diperkosa oleh 14 laki-laki hingga meregang nyawa. Kasus lainnya tentang Emon di Sukabumi yang melakukukan sodomi terhadap 120 anak, kasus pelecehan seksual di Jakarta International School, dan lain-lain.
Sebenarnya berita-berita tersebut hanyalah merupakan fenomena gunung es. Kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah sangat mengkhawatirkan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menunjukkan fakta bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air meningkat 100 persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi nyata inilah yang mendorong berbagai kalangan menyebut Indonesia dalam kondisi darurat dan perlu memerangi kekerasan anak. Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun ikut gerah, sehingga mengeluarkan Perpu No.1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Permasalahannya, apakah dengan dikeluarkan Perpu tersebut di atas sudah dapat mengatasi masalah kekerasan seksual terhadap anak?
Inilah yang menjadi tema dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Bhayangkara (Ubhara Jaya) dalam memeringati Dies Natalis Universitas Bhayangkara yang ke-21 dan wisuda ke-17 Tahun 2016. Mengusung judul “Kekerasan Kekerasan seksual Terhadap anak”, acara ini berlangsung di Auditorium Ubhara Jaya, Kampus II Bekasi, pada Rabu (7/9/2016).
Hadir sebagai narasumber dari berbagai latar belakang antara lain;Wakil Direktur Tipidium Bareskrim Polri, Kombes Pol. Drs. Agus Kurniady Sutisna,MM.,MH,Sosiolog Universitas Indonesia/ Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI, Dr.Ida Ruwaida, Kriminolog Universitas Indonesia, Prof.Dr. Muhammad Mustafa, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Dr.Eva Achyani,SH.,MH dan Dosen STIK-PTIK, DR. Vita Mayasari sebagai moderator.
Kepala Pusat Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) Ubhara Jaya, Dr. M.Ibrahim,SH,MH dalam sambutannya memaparkan mengenai latar belakang terselenggaranya seminar ini. “Ubhara Jaya terpanggil untuk turut menanggulangi permasalahan kekerasan seksual anak yang terus meningkat. Tidak hanya seminar, diharapkan ada sinergi antara pihak-pihak yang berkepentingan seperti KPAI, Komnas ” terangnya di awal seminar.
Lebih jauh, Dr.Ida Ruwaida dalam Seminar hari ini mengatakan “Anak rentan menjadi korban kekerasan, baik secara fisik, psikis, ekonomisimbolik juga seksual. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan faktor sosio-kultural, yang menempatkan anak dalam posisi tawar yang rendah dalam relasinya dengan keluarga dan lingkungannya. “terangnya. Adapun kekerasan seksual adalah berbagai tindakan terhadap anak yang terkait aktivitas seksual, baik kepada anak maupun bersama anak. Ruang lingkup kekerasan seksual pada anak meliputi: hubungan seksual, incest, perkosaan, sodomi, eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, memaksa anak untuk melihat kegiatan seksual.
Menurut Ida, Jika ditilik berdasar motivasi pelaku,faktor penyebab tindakan kekerasan seksual pada anak bisa dilatari oleh dua hal, yakni : hasrat seksual yang terakumulasi dan juga rasa marah. Selain kedua faktor tersebut, kondisi situasional juga memungkinkan misalnya mabuk dan kemudian ada potensi calon korban di waktu dan lokasi yang tepat. Pada kasus perilaku kekerasan yang didorong oleh hasrat seksual, salah satu faktor yang memicu adalah pornografi
Bagi anak, kekerasan seksual akan menyebabkan trauma (psikologis). Kondisi ini akan diperparah jika tidak ada support sosial dari lingkungannya, sehingga dampak psiko-sosial lebih dominan. Pada sejumlah kasus, korban justru dilihat sebagai sumber atau pemicu tindak kekerasan, sebagai penggoda, pembangkit hasrat seksual. Situasi inilah yang mengondisikan anak memilih bungkam. “Pada dasarnya, korban tidak hanya trauma, namun juga kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Bahkan ada korban yang terancam derajad kesehatannya, sebagaimana kasus Perempuan kecil di Jakarta Timur yang tewas dan diketahui infeksi menular seksual,”imbuh Ida.
Kejahatan seksual cenderung memperoleh perhatian yang lebih serius dibandingkan bentuk-bentuk kejahatan yang lain, sehingga akan menimbulkan kepanikan moral sehingga orang cenderung berpendapat bahwa pelaku kejahatan seksual harus dihukum seberat-beratnya, dan alat kejahannya dibuat tidak berdaya melalui pengebirian.
Namun demikian, menurut Prof. Muhammad Mustafa, untuk memperlakukan pelaku kejahatan seksual dan sekaligus memberikan perlindungan masyarakat, tidak boleh hanya didasari oleh pertimbangan emosional, commonsense, pencitraan. “Setiap pertimbangan harus didasarkan pertimbangan ilmiah yang ditandai adanya kesesuaian antara gagasan dengan fakta dan sekaligus merupakan pelaksanaan amanah konstitusi mencerdasakan kehidupan bangsa.”
Terkait dengan dikeluarkannya Perpu No.1 Tahun 2016, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Dr.Eva Achyani,SH.,MH menilai tidak bisa diterapkan sepenuhnya kepada pelaku kejahatan seksual. Terutama jika perpu tersebut diterapkan kepada pelaku di bawah umur. “Pertanyaannya, apakah ancaman sanksi berupa kebiri apa menjadi jaminan orang untuk takut dan tidak melakukan kejahatan seksual?”imbuh Dr.Eva.
Terkait hal tersebut, Ida memberi pandangan untuk dilakukannya upaya, terutama dari pemerintah mengutaman hak-hak anak ke berbagai kebijakan. Namun demikian, intervensi tersebut tidak hanya mendorong transformasi sosial kuntural tanpa ada intervensi kultural yang masif, termasuk mengubah cara pandang tentang anak. Anak bukanlah objek, namun merupakan subyek yang memiliki kebutuhan dan kepentingan sebagaimana warga bangsa lainnya. Untuk itu perlu sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, dan sinergitas kelembagaan, sehingga menjamin keberlanjutan kebijakan. Stop kekerasan seksual pada anak, perangi kekerasan pada anak, hany akan menjadi jargon tanpa makna, apalagi aksi. Jika tidak dimanifestasikan pada berbagai aspek dan level kebijakan. Salah satu contoh adalah Kode etik kekerasan seksual.
Selain itu, menurut Ida, perlu penguatan keluarga dan komunitas.. Di sinilah faktor sopsial-kultural efektif diintervensi, termasuk melalui institusi agama dan pendidikan. Media massa punya pengaruh besar pada penguatan level ini. Sementara pada tataran mikro, upaya membangun anak dan remaja yang sehat secara fisik, osial dan mental menjadi agenda utama.