Kisah Inspiratif Dr. Dhian Tyas Untari, Sosok Dosen Ubhara Jaya dengan Indeks Scopus Mengesankan

Bekasi – Kisah inspiratif kali ini datang dari Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr. Dhian Tyas Untari, S.E., M.M., MBA. Dia menjadi salah satu dosen dengan indeks Scopus 9 di Ubhara Jaya.
Jalan hidup tak selalu lurus. Kadang berliku, penuh tantangan, bahkan terasa tak sejalan dengan mimpi masa kecil. Namun bagi Dhian semua perjuangan itu bermuara pada satu hal yakni tekad untuk terus belajar dan memberi kontribusi nyata melalui dunia pendidikan dan riset.
Cinta Riset Sejak Dini
“Saya suka dari kecil tentang riset-riset. Dulu kalau ada pelajar biologi kaya suka mau meneliti apa ya? bahkan dulu saya punya cita-cita jadi periset ya,” tutur Dhian mengenang masa kecilnya.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan riset bukanlah hal baru. Namun, cita-cita tersebut sempat tertahan oleh kondisi ekonomi keluarga. Lahir dari keluarga sederhana, Dhian menyadari sejak dini bahwa untuk bisa menempuh pendidikan tinggi, ia harus bekerja keras sendiri.
“Saya bukan dari keluarga yang berada saat itu pindah ke Jakarta. Saat itu ibu tidak bekerja hanya ayah yang bekerja. Lulus SMA saja sudah bagus banget,” kenangnya.
Tak menyerah pada keadaan, Dhian menggali satu-satunya potensi yang ia miliki saat itu yakni menyanyi. Sejak SMP, ia sudah aktif mengikuti lomba-lomba seperti Suara Pelajar, Bintang Radio, hingga Asia Bagus. Suaranya yang merdu menjadi bekal untuk meniti karier sebagai penyanyi kafe sejak duduk di bangku SMA pada tahun 1996.
“Dulu saya itu penyanyi kafe, karena kalau dulu saya tidak punya talenta menyanyi saya kayaknya enggak bisa melanjutkan kuliah,” katanya.
Dhian pun menyadari apa yang dilakukannya itu merupakan jembatan menuju jenjang akademik. Ketika lulus S2, Dhian masih bekerja di bank. Namun keinginannya untuk melanjutkan studi ke jenjang doktoral begitu kuat. Kendalanya lagi-lagi adalah biaya. Ia pun mulai mencari beasiswa dan menemukan tiga pilihan saat itu ada Habibie Center, Bappenas, dan BPPS dari Dikti.
“Bappenas harus PNS, BPPS harus dosen dan Habibie Center harus eksak, sedangkan saya sosial enggak mungkin. Masuk PNS susah, yang paling gampang itu jadi dosen,” jelasnya.
Baca Juga: Kisah Inspiratif 2 Mahasiswa Ubhara Jaya Gabung Klub Sepak Bola Patriot Bekasi FC
Menjadi dosen pun akhirnya menjadi jalan terbaik. Tidak hanya karena tuntutan beasiswa, tetapi karena ia mulai menyadari bahwa dunia pendidikan adalah passion sejatinya. Pengalaman menempuh pendidikan doktoral memberinya banyak pelajaran, terutama dalam hal menulis. Saat itu, tuntutan penulisan sangat tinggi di kampusnya.
“Kuliah S3 di kampus saya saat itu kemampuan menulis itu harus banget, salah titik koma, salah kata sambung itu dikata-katain habis,” tuturnya.
Namun justru dari situ, ia belajar memperbaiki diri. Dari jurnal ke jurnal, ia terus menulis dan menerima berbagai feedback perbaikan.
“Dari sana saya baru mencoba untuk menulis jurnal dan kebetulan dapat feedback harus diperbaiki lagi terus,” tambahnya.
Scopus dan Branding Dosen
Setelah menyelesaikan S3, Dhian mulai memikirkan loncatan karier akademiknya. Ia tahu bahwa untuk bisa melompat ke jenjang Lektor Kepala, publikasi ilmiah harus kuat, khususnya di Scopus. Maka ia mulai serius menulis dan membangun rekam jejak akademik. Bahkan Dhian juga meraih peringkat 70 di Sinta dari total 307.503 penulis.
“Ternyata record Scopus yang bagus itu juga bagus untuk branding kita untuk tanda kutip jualan lagi di luar, kita bisa jadi konsultan, dosen di luar pun hibah penelitian juga karena record scopus kita juga dilihat,” paparnya.
Baginya, reputasi akademik bukan hanya soal angka, tapi juga modal untuk membuka peluang lebih luas dalam dunia profesional. Di tengah semua kesibukannya, Dhian tak pernah lelah mengajak sesama dosen untuk terus meningkatkan kapasitas diri.
“Improve dan branding. Brandinginya dosen itu adalah di Sinta, di Paten di buku. Ini real banget ya,” ujarnya tegas.
Menurutnya, dunia akademik harus dihadapi dengan komitmen untuk terus berkembang.
“Dosen itu tugasnya 3 doang kok: meneliti, pengabdian, pengajaran,” ucapnya.
Tim Media dan Publikasi
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya